Anemia Aplastik
09.38Definisi
Anemia aplastik definisikan sebagai kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen sel-sel darah.1 Anemia aplastik adalah Anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala manifestasinya.2 Gejala-gejala yang timbul akan sesuai dengan jenis sel- sel darah yang mengalami penurunan. Jika eritrosit yang menurun maka akan menimbulkan gejala anemia dari ringan sampai berat, antara lain lemah, letih, lesu, pucat, pusing, sesak nafas, penurunan nafsu makan dan palpitasi. Bila terjadi leukositopenia maka terjadi peningkatan resiko infeksi, penampakan klinis yang paling sering nampak adalah demam dan nyeri. Dan bila terjadi trombositopenia maka akan mudah mengalami pendarahan seperti perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa dan lain-lain.3,4 Anemia aplastik merupakan penyakit yang berat dan kasusnya jarang dijumpai. The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study menemukan insiden terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari 1.000.000 pertahun. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan di Eropa. Di China insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000 orang dan di Thailand diperkirakan 4 kasus per 1.000.000 orang. Frekwensi tertinggi terjadi pada usia 15 dan 25 tahun, puncak tertinggi kedua pada usia 65 dan 69 tahun.
Etiologi
Penyebab anemia aplastik sendiri sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau bersifat idiopatik disebabkan karena proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan.2 anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab yaitu faktor primer dan sekunder.3 Untuk faktor primer disebabkan kelainan kongenital (Fanconi, nonFaconi dan dyskeratosis congenital) dan idiopatik. Faktor sekunder yang berasal dari luar tubuh, bisa diakibatkan oleh paparan radiasi bahan kimia dan obat, ataupun oleh karena penyebab lain seperti infeksi virus (hepatitis, HIV, dengue), radiasi, dan akibat kehamilan.
Patofisiologi
Patofisiologi dari anemia aplastik bisa disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun. Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum tulang. Kerusakan pada microenvironment, ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misalkan eritropoetin) maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang. Gangguan pada microenvironment berupa kerusakan lingkungan sekitar sel induk pluripoten 5 sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah. Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan sel inhibitor atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.
DIAGNOSIS ANEMIA APLASTIK
Untuk menegakkan diagnosis anemia aplastik dan menyingkirkan berbagai kemungkinan penyakit penyebab pansitopenia sehingga tidak meragukan hasil diagnosisnya, kita dapat memulainya dengan melakukan anamnesis seputar keluhan dari pasien, kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun radiologis.
1. Anamnesis
Dari anamnesis bisa kita dapatkan keluhan pasien mengenai gejala- gejala seputar anemia seperti lemah, letih, lesu, pucat, pusing, penglihatan terganggu, nafsu makan menurun, sesak nafas serta jantung yang berdebar. Selain gejala anemia bisa kita temukan keluhan seputar infeksi seperti demam, nyeri badan ataupun adanya riwayat terjadinya perdarahan pada gusi, hidung, dan dibawah kulit. Kita juga bisa menanyakan apakah anggota keluarga lain mengeluhkan gejala seperti ini atau apakah gejala ini sudah terlihat sejak masih kecil atau tidak? Dimana nantinya akan dapat mengetahui penyebab dari anemia aplastik ini sendiri. Apakah karena bawaan (kongenital) atau karena didapat.
2. Pemeriksaan fisik
Kita akan menegaskan kembali apa yang sudah dikeluhkan oleh pasien 6 dengan melakukan pemeriksaan fisik dimana nantinya akan kita dapatkan tanda-tanda dari gejala anemia misalkan konjunctiva, mukosa serta ekstrimitas yang pucat. Adanya perdarahan pada gusi, retina, hidung, kulit, melena dan hematemesis (muntah darah). Dan juga tanda-tanda peradangan
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, bisa kita melakukan beberapa tes. Antara lain :
a. Pemeriksaan darah lengkap : Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui jumlah masing-masing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun trombosit. Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia. Pasien dengan anemia aplastik mempunyai bermacam-macam derajat pansitopenia. Tetapi biasanya pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia dihubungkan dengan indeks retikulosit yang rendah, biasanya kurang dari 1% dan kemungkinan nol walaupun eritropoetinnya tinggi. Jumlah retikulosit absolut kurang dari 40.000/µL (40x109 /L). Jumlah monosit dan netrofil rendah. Jumlah netrofil absolut kurang dari 500/µL (0,5x109 /L) serta jumlah trombosit yang kurang dari 30.000/µL(30x109 /L) mengindikasikan derajat anemia yang berat dan jumlah netrofil dibawah 200/µL (0,2x109 /L) menunjukkan derajat penyakit yang sangat berat.5 Jenis anemia aplastik adalah anemia normokrom normositer. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan 7 bukan anemia aplastik. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Ini dapat dibedakan dengan anemia hemolitik dimana dijumpai sel eritrosit muda yang ukurannya lebih besar dari yang tua dan persentase retikulosit yang meningkat
b. Pemeriksaan Sumsum tulang
Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan biopsi dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan aspirasi dari sumsum tulang adalah tulang pelvis, sekitar 2 inchi disebelah tulang belakang. Pasien akan diberikan lokal anastesi untuk menghilangkan nyerinya. Kemudian akan dilakukan sayatan kecil pada kulit, sekitar 1/8 inchi untuk memudahkan masuknya jarum. Untuk aspirasi digunakan jarung yang ukuran besar untuk mengambil sedikit cairan sumsum tulang (sekitar 1 teaspoon). Untuk biopsi, akan diambil potongan kecil berbentuk bulat dengan diameter kurang lebih 1/16 inchi dan panjangnya 1/3 inchi dengan menggunakan jarum. Kedua sampel ini diambil di tempat yang sama, di belakang dari tulang pelvis dan pada prosedur yang sama. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk menyingkirkan faktor lain yang menyebabkan 8 pansitopenia seperti leukemia atau myelodisplastic syndrome (MDS). Pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan secara tepat jenis dan jumlah sel dari sumsum tulang yang sudah ditandai, level dari sel-sel muda pada sumsum tulang (sel darah putih yang imatur) dan kerusakan kromosom (DNA) pada sel-sel dari sumsum tulang yang biasa disebut kelainan sitogenik.Pada anaplastik didapat, tidak ditemukan adanya kelainan kromosom. Pada sumsum tulang yang normal, 40- 60% dari ruang sumsum secara khas diisi dengan sel-sel hematopoetik (tergantung umur dari pasien). Pada pasien anemia aplastik secara khas akan terlihat hanya ada beberapa sel hematopoetik dan lebih banyak diisi oleh sel-sel stroma dan lemak. pada leukemia atau keganasan lainnya juga menyebabkan penurunan jumlah sel-sel hematopoetik namun dapat dibedakan dengan anemia aplastik. Pada leukemia atau keganasan lainnya terdapat sel-sel leukemia atau sel-sel kanker.
c. Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ Hybridization) Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik. Pada pemeriksaan Flow cytometry, sel- sel darah akan diambil dari sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis sel- sel yang terdapat di sumsum tulang. Pada pemeriksaan FISH, secara langsung akan disinari oleh cahaya pada bagian yang spesifik dari kromosom atau gen. tujuannya untuk mengetahui apakah terdapat kelainan genetic atau tidak
d. Tes fungsi hati dan virus Tes fungsi hati harus dilakukan untuk mendeteksi hepatitis, tetapi pada pemeriksaan serologi anemia aplastik post hepatitis kebanyakan sering negative untuk semua jenis virus hepatitis yang telah diketahui. Onset dari anemia aplastik terjadi 2-3 bulan setelah episode akut hepatitis dan kebanyakan sering pada anak lakilaki. Darah harus di tes antibodi hepatitis A, antibodi hepatitis C, antigen permukaan hepatitis B, dan virus Epstein-Barr (EBV). Sitomegalovirus dan tes serologi virus lainnya harus dinilai jika mempertimbangkan dilakukannya BMT (Bone Marrow Transplantasion). Parvovirus menyebabkan aplasia sel darah merah namun bukan merupakan anemia aplastik.
e. Level vitamin B-12 dan Folat Level vitamin B-12 dan Folat harus diukur untuk menyingkirkan anemia megaloblastik yang mana ketika dalam kondisi berat dapat menyebabkan pansitopenia.
4. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan X-ray rutin dari tulang radius untuk menganalisa kromosom darah tepi untuk menyingkirkan diagnosis dari anemia fanconi.
b. USG abdominal untuk mencari pembesaran dari limpa dan/ atau pembesaran kelenjar limfa yang meningkatkan kemungkinan adanya penyakit keganasan hematologi sebagai penyebab dari pansitopenia. Pada pasien yang muda, letak dari ginjal yang salah atau abnormal merupakan penampakan dari anemia Fanconi.
c. Nuclear Magnetic Resonance imaging merupakan cara pemeriksaan yang terbaik untuk mengetahui luas perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berselular.
d. Radionucleide Bone Marrow Imaging (Bone marrow Scanning). Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntikkan dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodine chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna oemeriksaan sitogenik atau kultur sel-sek induk
TRANFUSI DARAH PADA ANEMIA APLASTIK
Tranfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Dimana transfusi darah ini bisa berupa darah lengkap atau hanya komponen-komponen darah yang dibutuhkan saja misalkan preparat sel darah merah atau trombosit. Pada transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. Pada kasus anemia aplastik berat dan sangat berat dengan jumlah platelet <10.000/µL (atau <20.000/µL dengan gejala demam) dianjurkan untuk memberikan tranfusi darah, tujuannya untuk menjaga jumlah darah agar tetap dalam kadar normal. Ada 2 jenis transfusi darah yang sering diberikan pada anemia aplastik yaitu berupa transfusi sel darah merah dan trombosit. Transfusi leukosit tidak dianjurkan karena siklus hidupnya lebih singkat dan juga efek samping yang ditimbulkannya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Sebelum melakukan tranfusi darah baik transfusi sel darah merah maupun trombosit, darah pasien akan di tes untuk melihat kecocokan dengan darah pendonor biasanya berlangsung selama 1 jam. Kemudian darah donor akan di 13 saring dan di iridiasi untuk memindahkan dan menonaktifkan beberapa sel, fungsinya untuk menurunkan resiko terjadinya respon imun yag buruk terhadap darah. Setelah itu diberikan Tylenol dan Benadryl sebelum transfusi untuk mencegah demam, dan reaksi alergi. Dan darah pun siap untuk ditransfusi. Sedangkan untuk transfusi trombosit diberikan bila trombosit <20.000/µL dimana meningkatkan resiko terjadinya pendarahan. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Tranfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan HLA- nya (orang tua atau saudara kandung atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
0 komentar